Kisah Si Pitung menggambarkan sosok pendekar Jakarta dalam menghadapi
ketidakadilan yang ditimbulkan oleh penguasa Hindia Belanda pada masa itu.Kisah
ini diyakini nyata keberadaannya oleh para tokoh masyarakat Betawi terutama di
daerah Kampung Marunda di mana terdapat Rumah dan Masjid lama. Si Pitung lahir
di daerah Pengumben sebuah kampung di Rawabelong yang pada saat ini berada di
sekitar lokasi Stasiun Kereta Api Palmerah. Ayahnya bernama Bang Piung dan
ibunya bernama Mpok Pinah. Pitung menerima pendidikan di pesantren yang
dipimpin oleh Haji Naipin (seorang pedagang kambing). Si Pitung merupakan nama
panggilan asal kata dari Bahasa sunda Pitulung (minta tolong atau penolong),
kemudian nama panggilan ini menjadi Pitung. Nama asli Si Pitung sendiri adalah
Salihun (Salihoen).
Menurut legenda Kesaktian si Pitung adalah tidak
mumpan di tembak oleh penjajah Belanda di Indonesia saat itu, Berdasarkan
penelusuran van Till (1996) berdasarkan Hindia Olanda 22-11-1892 (Koran
Terbitan Malaya (Malaysia pada saat ini)). Pada tahun 1892 Si Pitung dikenal
pada sebagai “One Bitoeng”, “Pitang", kemudian menjadi “Si Pitoeng”
(Hindia Olanda 28-6-1892:3; 26-8-1892:2). Laporan pertama dari surat kabar ini
menunjukkan bahwa schout Tanah Abang mencari rumah “One Bitoeng” di Sukabumi.
Dari hasil penemuannya ditemukan Jas Hitam, Seragam Polisi dan Topi, serta
beberapa perlengkapan lainnya yang digunakan untuk mencuri kampung (Hindia
Olanda, 28-6-1892:2). Sebulan kemudian polisi menggeledah rumahnya kembali dan
ditemukan uang sebesar 125 gulden. Hal ini diduga uang curian dari Nyonya De C
dan Haji Saipudin seorang Bugis dari Marunda (Hindia Olanda 10-8-1892:2;2;
26-8-1892:2). Kemudian Si Pitung menggunakan senjata untuk mencuri pada tanggal
30 Juli 1892, ketika itu Si Pitung dan lima kawanannya (Abdoelrachman,
Moedjeran, Merais, Dji-ih, dan Gering) menerobos rumah Haji Saipudin dengan
mengancam bahwa Haji Saipudin akan ditembak.
Pada tahun 1892 Pitung dan kawanannya ditangkap
oleh polisi sesudah adanya nasihat dari Kepala Kampung Kebayoran yang menerima
50 ringgit (Hindia Olanda 26-8-1892:2) untuk menangkap Si Pitung. Setelah
ditangkap, kurang dari setahun kemudian pada musim semi 1893, Pitung dan Dji-ih
merencanakan kabur dengan cara yang misterius dari tahanan Meester Cornelis.
Sebuah investigasi kemudian dilakukan oleh Asisten Residen sendiri, tetapi
tidak berhasil.
Karena kejadian tersebut Kepala Penjara dicurigai
melepaskan si Pitung dan Dji-ih. Akhirnya seseorang Petugas Penjara mengakui
bahwa dia meminjamkan sebuah "belincong (sejenis linggis pencungkil)”
kepada Si Pitung, yang kemudian digunakan untuk membongkar atap dan mendaki
dinding (Hindia Olanda, 25-4-1893:3; Lokomotief 25-4 1893:2).
Akibatnya, Si Pitung lepas lagi. Berdasarkan rumor,
Pitung pernah menampakkan diri ke seorang wanita di sebuah perahu dengan nama
Prasman. Detektif mencoba mencari di kapal tersebut (Hindia Olanda,
12-5-1893:3), tetapi hasilnya Pitung tidak dapat ditemukan. Semakin sulitnya
menemukan Si Pitung, menyebabkan harga untuk penangkapan Si Pitung menjadi
meningkat sebesar 400 Gulden. Pemerintah Belanda pada saat itu ingin
"menembak mati" di tempat , tetapi sebagian pejabat mengatakan jika
Pitung ditembak justru akan menumbuhkan semangat patriotik, sehingga niat ini
diurungkan oleh kepolisian Batavia untuk menembak ditempat walaupun pada
akhirnya hal ini dilakukan juga.
Sebagai tindakan balas dendam, Pitung melakukan
pencurian secara kekerasan termasuk dengan menggunakan sejata api. Akhirnya
Pitung dan Dji-ih membunuh seorang polisi intel yang bernama Djeram Latip
(Hindia Olanda 23-9-1893:2). Dia juga mencuri wanita pribumi, Mie dan termasuk
pakaian laki-laki serta pistol revolver dengan pelurunya. Pernyataan ini
didukung oleh Nyonya De C seorang pedagang wanita di Kali Besar menyatakan
bahwa Pitung mencuri sarung yang bernilai ratusan Gulden dari perahu-nya
(Hindia Olanda 22-11-1892:2).
Dji-ih ditangkap kembali di kampung halamannya, ketika
sedang menderita sakit. Pada saat itu Dji-ih pulang ke kampung halamannya untuk
memperoleh pengobatan. Kemudian dia pindah ke rumah orang tua yang dikenal.
Kepala kampung pada saat itu (Djoeragan) melaporkannya ke Demang kemudian
memerintahkan tentara untuk menangkap Dji-ih dirumahnya. Karena dia terlalu
sakit, dia tidak berdaya untuk melawan, walaupun pada saat itu pistol dalam
jangkauannya (Hindia Olanda 19-8-1893:2). Dia menyerah tanpa perlawanan. Untuk
menutupi hal ini kemudian Pemerintah Belanda melansir di Java-Bode
(15-8-1893:2) bahwa Dji-ih kabur ke Singapura. Informan yang bertanggungjawab
melaporkan Dji-ih kemudian ditembak mati oleh Pitung di suatu tempat yang tak
jauh dari Batavia beberapa minggu kemudian.
“'Itoe djoeragan koetika ketemoe Si Pitoeng
betoelan di tempat sepi troes, Si djoeragan menjikip pada Si Pitoeng dan dari
tjipetnja Si Pitoeng troes ambil pestolnja dari pinjang, lantas tembak si
djoeragan itoe menjadi mati itoe tempat djoega.' (Hindia Olanda 1-9-1893:2.)
Beberapa bulan kemudian, di Bulan Oktober, Kepala
Polisi Hinne mempelajari dari informan bahwa Pitung terlihat di Kampung Bambu,
kampung di antara Tanjung Priok dan Meester Cornelis. Kemudian dalam
perajalanannya Hinne diberikan laporan bahwa Pitung telah pindah ke arah pekuburan
di Tanah Abang (Hindia Olanda 18-10-1893), kemudian Hinne menembaknya dalan
penyergapan itu. Pitung ditembak di tangan, kemudian Pitung membalasnya.
Kemudian Hinne menembak kedua kalinya, tetapi, meleset, dan peluru ketiga
mengenai dada dan membuatnya terjerembap di tanah. Sehari sesudah kematiannya
yaitu hari Senin, jenazah dibawa ke pemakaman Kampung Baru pada jam 5 sore.
Setelah Hinne menangkap Pitung setahun kemudian dia
dipromosikan menjadi Kepala Polisi Distrik Tanah Abang untuk mengawasi seluruh
Metropolitan Batavia-Weltevreden. Setelah kejadian tersebut Pemerintah Hindia
Belanda melakukan pencegahan agar "Pitung"-"Pitung" yang
lain tidak terjadi lagi di Batavia. Bahkan karena ketakutannya makam Si Pitung
setelah kematiannya, dijaga oleh Pemerintah Belanda agar tidak diziarahi oleh
masyarakat pada waktu itu.
3.Sunan Giri ( Indonesia)
gambar 1.3=Komplek pemakaman Sunan Giri,sumber : Wikipedia
Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri
Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan
tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku,
Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia
dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik. Sunan Giri mendapat tantangan dari
Begawan Minto Semeru seorang pertapa dari Gunung Lawu
Kurang lebih tiga tahun lamanya Sunan Giri
mendirikan pondok pesantren yang terletak di gunung giri, termasyurlah nama
pondok itu ke seluruh penjuru Pulau Jawa. Dan dalam pada itu, tersebutlah di
Gunung Lawu terdapat sebuah padepokan yang dipimpin oleh seorang Begawan sakti
bernama Minto Semeru. Konon kabarnya Begawan Minto ini sangat sakti.
Suatu ketika Begawan Minto semeru mendengar nama
Sunan Giri yang baru mendirikan padepokan di Gunung Giri. Mendengar hal ini,
Begawan Minto merasa tersaingi, karena itu berangkatlah Begawan Minto ke
padepokan Giri. Pada saat Begawan Minto tiba, Sunan Giri sedang mengerjakan
sholat. Dia hanya bertemu dengan salah satu muridnya yang menjaga pintu gerbang
padepokan Giri.
“Dapatkah aku bertemu dengan Sunan Giri?”, Tanya
sang Begawan.
“Siapakah tuan ini, dan dari mana asalnya?”, Tanya
si penjaga gerbang.
“Katakan aku ingin bertemu dengan pemimpin
padepokan ini”, ujar Begawan Minto tidak serantan.
“Kanjeng Sunan sedang Sholat” sahut penjaga pintu.
“Sudah cepat katakan ada tamu dari jauh ingin
bertemu” ujar sang Begawan.
Akhirnya penjaga pintu gerbang itu segera menemui
Kanjeng Sunan di tempat sholat. Kebetulan kanjeng sunan sudah selesai sholat.
“Ada apa muridku?” Tanya Kanjeng Sunan.
“Ada seorang tamu dari jauh ingin bertemu dengan
Kanjeng Sunan” jawab muridnya dengan santun.
“Suruh dia masuk” ujar Kanjeng Sunan.
Akhirnya murid Kanjeng Sunan tersebut menemui sang
Begawan tersebut seraya mengajaknya masuk kedalam lingkungan pesantren.
Sementara Sunan Giri menyambut kedatangannya dengan ramah, sedikitpun tak ada
kecurigaan bahwa kedatangan sang Begawan untuk mengajak adu kesaktian.
“Kisanak ini berasal dari mana?” Tanya Kanjeng
Sunan seraya hendak berkenalan.
“Namaku Begawan Minto Semeru, datang dari Gunung
Lawu. Aku mendengar berita bahwa tuan adalah guru besar padepokan Gunung Giri,
seorang guru sakti berilmu tinggi. Terus terang saja, kedatanganku kemari ingin
mencoba kesaktian tuan guru” ujar Begawan Minto dengan mantap.
“Mencoba kesaktianku?” Tanya Kanjeng Sunan.
“Ya, bila nanti aku yang kalah, aku bersedia
mengabdi kepada tuan guru sebagai murid. Dan bila tuan guru yang kalah, maka
akan kupenggal leher tuan guru agar di tanah Jawa ini tidak ada seorang pun
yang dianggap sakti kecuali aku” kata Begawan Semeru dengan yakin.
“Ketahuilah kisanak, bahwa semua yang ada dialam
semesta ini adalah kepunyaan Allah, dia Maha Kuasa lagi Maha Sakti. Karena itu
jika kisanak hendak mengalahkan aku dan memenggal leherku, maka jika Tuhan
tidak menghendaki, sejuta orang seperti kisanak pun tidak akan mampu
melaksanakannya”, ujar Kanjeng Sunan dengan sopan.
“Jelasnya tuan guru telah menerima tantanganku”,
ujar Begawan Minto.
“Silahkan bila tuan ingin mencoba ilmu ciptaan
Tuhan kepadaku”, sahut Kanjeng Sunan.
Kedua orang itu kemudian keluar dari lingkungan
Pesantren menuju lapangan luas dan saling berhadapan.
“Sebelum memulai pertarungan, marilah kita main
tebak dahulu, aku akan mengubur binatang di atas Gunung Pertukangan, tuan
tinggal menebak binatang apa yang aku kubur itu?”, kata sang Begawan sambil
tertawa terkekeh-kekeh.
“Silakan”. Sahut Kanjeng Sunan.
Dengan gerakan cepat, Begawan Minto Semeru melesat
menuju Gunung Pertukangan. Di sana dia menciptakan dua ekor angsa, jantan dan
betina, lalu kedua angsa itu dikubur hidup-hidup. Setelah selesai dia kembali
ke tempat semula Kanjeng Sunan berada.
“Nah, binatang apa yang saya kubur di gunung itu
tuan guru?” Tanya sang Begawan serasa mengejek.
“Yang tuan kubur itu adalah sepasang ular naga”
jawab Kanjeng Sunan kalem.
Serentak Begawan Minto tertawa terbahak-bahak
mendengar jawaban sunan seraya berkata “tebakan tuan salah, salah besar”.
Selanjutnya sang Begawan berkata ”yang saya kubur adalah sepasang angsa”.
“Apa tuan tidak salah lihat, sebaiknya tuan kembali
dan bongkarlah apa yang tuan kubur itu”. Kata Kanjeng Sunan meyakinkan.
“Justru tuanlah yang harus melihatnya, agar tuan
menerima kekalahan tuan, sahut sang Begawan.
“Kalau begitu marilah kita lihat bersama-sama” kata
Kanjeng Sunan.
Hanya beberapa kejap mata, kedua orang itu tiba di
Gunung Pertukangan. Begawan Minto Semeru membongkar binatang ciptaannya yang
dikubur itu. Tiba-tiba keluarlah sepasang ular naga. Sang Begawan terkejut
seraya bergumam “Kali ini aku kalah, tapi awas untuk yang kedua kalinya”.
Berkali-kali sang Begawan mengeluarkan ilmu
kesaktiannya, dan berkali-kali pula ia tidak dapat mengalahkan ilmu Kanjeng
Sunan, hingga akhirnya sang Begawan mengeluarkan ilmu andalannya.
Sang Begawan melepaskan ikat kepalanya, lalu
dilemparkan ke udara dengan ilmu andalannya, ikat kepala itu melesat ke udara
dengan kecepatan yang sulit dipandang mata. Namun Kanjeng Sunan tidak tinggal
diam, dilemparkan pula sorbannya dan melesat ke udara memburu ikat kepala sang
Begawan. Sorban Kanjeng Sunan dapat menyusul ikat kepala sang Begawan bahkan
dapat menumpangi ikat kepala Begawan Minto Semeru. Dengan lambaian tangan
Kanjeng Sunan, kedua benda itu meluncur kebawah, dan tepat jatuh dihadapan sang
Begawan. Sorban Kanjeng Sunan tetap berada diatas, sementara ikat kepala sang
Begawan berada di bawah. Hal tersebut menandakan bahwa sang Begawan tetap
kalah. Sang Begawan semakin penasaran, dicobanya adu kesaktian sekali lagi.
Sang Begawan menciptakan beberapa butir telur. Telur-telur itu disusunnya dari
bawah ke atas. Anehnya, telur-telur itu tidak jatuh. Melihat permainan itu,
Kanjeng Sunan tidak mau kalah. Telur-telur itu diambilnya satu persatu dari
bawah, dan lebih aneh lagi, telur-telur itu tidak jatuh ke bawah hingga telur
itu dapat diambil semuanya.
Dengan diliputi rasa malu di hadapan para penonton,
akhirnya sang Begawan Minto mengajak duel Kanjeng Sunan dengan jurus-jurus
pamungkas. Setelah keduanya siap, mulailah sang Begawan menyerang Kanjeng Sunan
dengan jurus-jurus andalannya. Secepat kilat pukulan sang Begawan menghantam
Kanjeng Sunan, secepat kilat pula Kanjeng sunan mengembalikan pukulan itu
kepada sang Begawan dengan dorongan telapak tangannya. Tak ayal lagi pukulan
itu mengenai sang Begawan sendiri. Sesuai dengan janji, akhirnya sang Begawan
mengaku kalah dan berlutut dihadapan Kanjeng Sunan seraya meminta maaf atas
kesombongannya.
“Kali ini kuserahkan jiwa ragaku kepada Kanjeng
Sunan, aku bersedia menjadi murid Kanjeng Sunan” kata Begawan Minto Semeru.
“Soal itu mudah, yang penting tuan kenali dulu
ajaran agama islam” kata Kanjeng Sunan.
“Semula aku berjanji, jika aku yang kalah, aku
bersedia menjadi murid Kanjeng. Dan itu berarti aku harus belajar ilmu-ilmu
yang Kanjeng miliki” sahut Begawan Minto Semeru.
Demikianlah hasil adu kesaktian sang Begawan Minto
Semeru dengan Kanjeng Sunan Giri yang dimenangkan oleh Kanjeng Sunan Giri dan
akhirnya Begawan Minto Semeru menjadi murid Kanjeng Sunan Giri.
Setelah dirasa sudah cukup lama menimba ilmu dari
Kanjeng Sunan Giri, akhirnya Begawan Minto Semeru kembali ke Gunung Lawu.
Disana sang Begawan mengajak murid-muridnya untuk mengenal ajaran agama Islam.
Sampai akhir hayatnya, Raden Paku atau Sunan Giri
tetaplah merupakan pahlawan islam yang sangat diagungkan. Beliau merupakan
orang yang banyak menyebarkan ajaran Islam di Indonesia terutama di Pulau Jawa
dan sekitarnya. Tepat pada hari Senin bulan Dzulhijjah beliau meninggal dunia.
Jenazahnya dimakamkan di Gunung Giri Kecamatan Kebomas Kabupaten Gresik. Sampai
saat ini banyak peziarah dari penjuru tanah air datang ke makam beliau karena
jasa-jasa beliau dalam menyebarkan agama Islam. Semoga jasa-jasa beliau dalam
menegakkan ajaran agama Islam diterima di sisi allah SWT. Amien Ya Robbal
Aalamien.
Konon menurut catatan sejarah, silsilah Sunan Giri
bila dilihat dari jalur ayahnya Syekh Maulana Ishaq masih berhubungan dengan
Baginda Rasullulah SAW. Dan bila silsilah keturunan dari ibunya Dewi Sekardadu
masih ada hubungan dengan Raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk.
Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda
mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak
Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq
diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu
penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri
juga merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu melalui jalur keturunan Husain
bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali
al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi
Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad
Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah
(al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar
al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa
Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.
2.Nabi Musa (Musa
GAMBAR 1.4=Ilustrasi Musa membelah laut merah,sumber: